Selamat Hari Raya Idul fitri
1433 H
Delia Paramitha
Sahabat Muslimah
Kamis, 16 Agustus 2012
Rabu, 11 Juli 2012
Dibalik Jeruji Besi
DIBALIK JERUJI BESI
Hari
ini aku berharap matahari dapat bersinar cerah dan menyapaku dengan senyuman
terindahnya. Suara ayam yang berkokok
itu telah membangunkan ayah ku
untuk shalat subuh ketika
itu ayah pun
membangunkan ku
untuk ikut shalat subuh dengannya di mesjid dekat rumah kami. Di rumah kami terdengar suara adzan untuk
mengingatkan kita akan shalat karena di kampung aku tidak
memiliki pengeras suara. Aku hidup
berdua dengan ayah ku
di rumah. Ibu dan adikku
telah lama meninggal dunia karena gempa bumi yang telah melanda wilayahku. Aku
dan ayahku berhasil menyelamatkan diri. Namun takdir berkata lain untuk Ibu dan adik ku. Mereka tidak dapat menyelamatkan
diri. Peristiwa
itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu.
Usiaku
sekarang sudah menginjak 9 tahun. Sekarang aku telah duduk di bangku kelas 3 SD. Setiap pulang sekolah dan sebelum tidur
aku selalu belajar. Hal itu aku lakukan karena nasihat
lembut yang telah diberikan ayah ku
tercinta. Serta aku ingin membuat ibuku tersenyum di sana melihat anaknya
yang telah berhasil dalam belajarnya.
Aku ingin menunjukan kepada tetangga dan teman-teman ku walaupun aku bukan
anak orang kaya, tapi ayah ku
telah berhasil mendidik aku sehingga aku bisa menjadi anak pintar dan sukses.
Karena
usaha ku
yang sangat keras serta dorongan lembut dan ikhlas dari ayah ku maka aku berhasil
menjadi juara kelas. Namun tidak terhenti sampai di situ. Aku berhasil
menjadi juara umum di sekolahku.
Ini membuat ayah dan
teman-temanku bangga. Ketika aku mulai kelas 5 SD aku berhasil mengukuti seleksi untuk
mengikuti olimpade matematika untuk tingkat kecamatan dan jika menjadi juara di kabupataen maka akan
berlanjut ke tingkat
kabupaten dan propinsi serta nasional.
Hari
senin tanggal 24 maret 1974 aku mengikuti olimpiade matematika ditingkat
kecamatan. Semua orang-orang yang
mencintaiku berharap aku mendapatkan juara agar aku
dapat mengharumkan nama sekolah ku.
Tapi sesampainya di lokasi lomba. Terbenak dipikiranku apakah aku akan dapat
merebut piala itu. Sementara melihat
sainganku aku tak punya rasa semangat lagi aku telah
pesimis. Pikiran seperti itu terus membayangi pikiranku. Sungguh aku khawatir mengecewakan ayah, guru-guru dan teman-temanku. Padahal
jauh-jauh hari sebelum hari H aku tengah berusaha keras untuk mendapatkan juara
olimpiade itu. Sungguh sekarang aku butuh seseorang yang dapat menumbuhkan
semangatku lagi. Agar aku tidak mempunyai
perasaan pesimis tatkala menghadapi sainganku. Ayah ku yang akan membuat ku memiliki semangat
baru untuk menghadapi sainganku.
Hatiku
semakin bergetar tatkala lomba akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Namun hatiku
belum begitu tenang sebelum aku melihat dia,
ayah ku
tercinta. Aku segera pergi keluar untuk melihat apakah ayah ku sudah datang atau
belum. Aku butuh kata-kata penyemangat dari ayahku.
Namun harapan itu hampir sirna, lomba akan segera dimulai kurang dari 5 menit
lagi.
Ya
sekarang aku mulai lomba. Aku mulai mengerjakan soal – soal itu. Walaupun
dengan sedikit semangat yang ada pada diriku. Mataku kembali memandang kearah luar, dan ternyata
aku melihat seseorang telah berlari menemui ruangan di mana aku duduk saat itu.
Dia adalah ayahku yang siap memberikan semangat untukku.
Akhirnya lomba itu telah
selesai aku ikuti. Tiga
jam dari sekarang akan diumumkan siapa yang akan menjadi pemenangnya. Harapanku
sangat besar untuk menjadi pemenangnya. Aku duduk berdampingan dengan ayah dan
guruku duduk di depan
podium pengumuman. Hasilnya aku berhasil
menjadi juaranya dan aku berhasil melanjutkan lomba ku ke tingkat
selanjutnya. Aku berhasil membuat ayah ku tersenyum lebar karena kebanggaannya
kepadaku. Perasaanku sangat bahagia, begitupun dengan apa yang dirasakan oleh
ayah, guru dan teman-temanku.
3
tahun kemudian ...
Kini
aku telah sekolah di tingkat
yang lebih tinggi yaitu di SMP. Kehidupan ku mulai berubah
sedikit demi sedikit. Namun perubahan yang telah terjadi padaku lebih ke arah
negatif. Hal itu terjadi karena aku salah memilih teman bergaul. Aku pun mulai mengikuti
jalan salah yang ditempuh oleh teman-teman ku. Kini aku sudah tak
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Seolah hati ku telah tertutup untuk bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang tidak baik. Jalan yang aku
tempuh lebih ke arah
mengikuti kesenangan yang sifatnya
hanya sementara. Perilakuku
lebih banyak mengikuti nafsu daripada akal sehatku.
Kekecewaan
yang sangat mendalam yang telah dirasakan oleh ayahku. Dia sangat merasa sedih
tatkala dia tahu semua keburukan yang telah dilakukan oleh anak satu-satunya. Terlalu
banyak kasus yang telah aku perbuat. Maka sekolah telah memutuskan untuk
mengeluarkan aku dari sekolah itu. Semua
sekolah yang ada di daerah ku
pada saat itu tidak mau menerima ku
sekolah di sana karena mereka tahu akan kenakalan yang telah
ku perbuat. Ketika Ayah mulai mengetahui
aku tak bersekolah lagi ayah ku
sangat merasa kecewa. Tak jarang ayah ku menangis meratapi nasib anaknya
kedepan dengan kondisi aku tidak sekolah. Ketika itu aku
pulang bermain bersama teman-temanku. Ayahku berkata, “nak, sini sebentar ayah
ingin bicara serius denganmu.”
“Tapi
yah aku capek,
kalau ada yang mau
dibicarakan nanti
saja sekarang aku ingin istirahat.” Jawab aku
dengan nada suara yang kasar. “Ayah
tak akan banyak menggangu waktu mu,
ayah hanya butuh sedikit waktu mu
untuk menanyakan sesutau padamu.” Jawab ayah kembali. “Tidak ayah aku mau
beristirahat!!!”
bentak aku sambil pergi meninggalkan ayah dan masuk
ke dalam
kamar.
Kini
aku lebih sering mencuri karena aku tak punya uang untuk membeli obat-obatan
itu. Cara apapun aku lakukan untuk mendapatkan barang terlarang itu. Bahkan
mencuri uang ayah ku
pun aku sudah berani melakukannya. Kekecewaan yang dirasakan ayahku semakin
mendalam. Ketika
itu ayahku mulai sakit-sakitan memikirkan perilaku ku yang sangat
tercela..
Hingga pada suatu hari ketika aku dan teman-teman ku
sedang menggunakan narkoba aku dan teman-temanku tertangkap tangan oleh polisi.
Aku beserta teman-temanku mulai mendekam di penjara. Akhirnya aku tersadar bahwa
kebahagiaan itu adalah kebahagiaan semu yang telah membuat kehidupan ku hancur. Beruntung
aku tidak overdosis dengan obat terlarang itu. Tak seperti nasib temanku yang
satu itu dia meninggal dunia
karena overdosis. Ketika melihat temanku meninggal aku kembali tersadar bahwa
kebahagiaan itu telah menjerumuskan ku dan teman-teman ku kejurang kesesatan.
Aku
tak bisa menahan tangis ketika melihat temanku sakaratul maut karena overdosis
yang dialaminya. Kematian yang dialami temanku begitu tragis. Kematian yang
dialami temanku sangat mengerikan. Mungkin ini semua salah satu bentuk hukuman
karena apa yang telah diperbuat. Terpikir
dalam benak ku
bahwa Allah
masih menyayangi ku
karena aku masih diberi kesempatan untuk hidup.
Kini
satu tahun sudah aku mendekam di dalam
sel tempat orang-orang jahat itu. Kini aku mulai kembali menata hidupku
walaupun aku menata hidup dalam sel tahanan. Kini aku benar-benar menemukan
kebahagiaan yang hakiki. Walaupun tempat ku didalam penjara.
Batinku lebih merasa tenang apa lagi setiap aku melaksanakan shalat malam dan
melantunkan ayat suci Al quran.
Tak
ada lagi keinginan untuk keluar dari penjara ini. Kini aku sudah benar-benar
menemukan kebahagiaan yang nyata bukan lagi kebahagiaan semu.
Namun
tatkala aku selesai shalat subuh aku pun mulai bergegas untuk membereskan
sajadah dan sarung bekas aku shalat. Tak seperti biasanya aku mendengar suara
ayam berkokok yang mengingatkanku akan kehidupanku ketika aku kecil . Dimana
aku hidup bersama ayah tercinta. Yang senantiasa berusaha menjadi ayah yang
baik untuk diri ku.
Namun aku adalah anak durhaka yang telah menyia-nyiakan kebaikan ayahku. Ketika
aku mengingat semuanya tak dapat kubendung air mataku membasahi
pipiku. Aku merasa aku adalah manusia
yang tiada guna. Ketika itu aku berpikir untuk mencari tahu bagaimana
keadaan ayah ku,
karena waktu aku meninggalkan rumah ayah ku dalam keadaan sakit.
Besar harapanku agar ayah dapat menjenguk ku dipenjara dan
memberikan semangat kepada ku
sama seperti dia memberikan semangat ketika aku mengikuti lomba matematika
dulu.
Aku
mulai mencari informasi
bagaimana keadaan ayahku. Aku meminta tolong kepada polisi yang sangat baik
kepada ku
untuk mencari tahu bagaimana keadaan ayah ku di kampung. Tak pernah aku
berhenti berharap polisi itu membawa kabar baik untuk ku dan membawa ayahku
untuk menjenguk ku.
Hatiku mulai bergetar
ketika aku melihat raut wajah polisi itu yang seolah penuh dengan kekecewaan.
Dan dia pun
segera menghampiriku.
“Mudah-mudahan
kamu siap menerima kenyataan yang harus kau hadapi wahai anak muda” kata polisi
itu penuh dengan hati-hati. “Kenapa pak. katakan saja apa yang ingin kau katakan
apapun kabar yang kau bawa insyaAlloh aku dapat menerimanya, karena aku yakin
apa pun
kabar mengenai ayah ku
itulah takdir yang telah Allah
tuliskan”. Jawab sang anak muda penuh dengan kerelaan. “Baiklah nak, sebenarnya
ayahmu sudah tiada sejak delapan bulan yang lalu.” Info sang polisi itu. Aku tak dapat menjawab
apapun lagi seolah dia berusaha untuk ikhlas menerima kepergian ayahnya. Namun penyesalan
yang tak terhingga pun
telah dia rasakan. Karena dia tak dapat membalas semua kebaikan ayahnya itu.
Justru dia suguhkan hal-hal yang tidak menyenangkan untuk ayahnya.
Namun
aku tak akan pernah putus asa aku akan menunjukkan kepada ayahku, ibukku,
adikku, guru-guruku, dan sahabat –sahabat aku ketika aku SD. Dengan adanya aku
di penjara aku akan mulai menata
hidupku untuk ke depannya
terutama untuk bekal ku
di akhirat.
Sekarang kehidupannku
mulai kembali tertata. Sampai akhirnya aku keluar dari penjara karena sikap
baik ku
yang telah aku tunjukkan kepada polisi. Bukan hanya itu kini aku sudah punya pekerjaan yaitu menjadi
guru privat agama di lingkungan ku. Kehidupan ku kembali terarah ke arah yang lebih baik.
Langganan:
Postingan (Atom)