Kamis, 16 Agustus 2012

Rabu, 11 Juli 2012

Dibalik Jeruji Besi


DIBALIK JERUJI BESI

Hari ini aku berharap matahari dapat bersinar cerah dan menyapaku dengan senyuman terindahnya.  Suara ayam yang berkokok itu telah membangunkan ayah ku untuk shalat subuh ketika itu ayah pun membangunkan ku untuk ikut shalat subuh dengannya di mesjid dekat rumah kami. Di rumah kami terdengar suara adzan untuk mengingatkan kita akan shalat karena di kampung aku tidak memiliki  pengeras suara. Aku hidup berdua dengan ayah ku di rumah. Ibu dan adikku telah lama meninggal dunia karena gempa bumi yang telah melanda wilayahku. Aku dan ayahku berhasil menyelamatkan diri. Namun takdir berkata lain untuk Ibu dan adik ku. Mereka  tidak dapat menyelamatkan diri. Peristiwa itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu.

Usiaku sekarang sudah menginjak 9 tahun. Sekarang aku telah duduk di bangku kelas 3 SD. Setiap pulang sekolah  dan sebelum tidur aku selalu belajar. Hal itu aku lakukan karena nasihat lembut yang telah diberikan ayah ku tercinta. Serta aku ingin membuat ibuku tersenyum di sana melihat anaknya yang telah berhasil dalam belajarnya. Aku ingin menunjukan kepada tetangga dan teman-teman ku walaupun aku bukan anak orang kaya, tapi ayah ku telah berhasil mendidik aku sehingga aku bisa menjadi anak pintar dan sukses.

Karena usaha ku yang sangat keras serta dorongan lembut dan ikhlas dari ayah ku maka aku berhasil menjadi juara kelas. Namun tidak terhenti sampai di situ. Aku berhasil menjadi juara umum di sekolahku.  Ini membuat ayah dan teman-temanku bangga. Ketika aku mulai kelas 5 SD aku berhasil mengukuti seleksi untuk mengikuti olimpade matematika untuk tingkat kecamatan dan jika menjadi juara di kabupataen maka akan berlanjut ke tingkat kabupaten dan propinsi serta nasional.

Hari senin tanggal 24 maret 1974 aku mengikuti olimpiade matematika ditingkat kecamatan. Semua orang-orang yang mencintaiku berharap aku mendapatkan juara agar aku dapat mengharumkan nama sekolah ku. Tapi sesampainya di lokasi lomba. Terbenak dipikiranku apakah aku akan dapat merebut  piala itu. Sementara melihat sainganku aku tak punya rasa  semangat lagi aku telah pesimis. Pikiran seperti itu terus membayangi pikiranku. Sungguh aku khawatir mengecewakan ayah, guru-guru dan teman-temanku. Padahal jauh-jauh hari sebelum hari H aku tengah berusaha keras untuk mendapatkan juara olimpiade itu. Sungguh sekarang aku butuh seseorang yang dapat menumbuhkan semangatku lagi. Agar aku tidak mempunyai perasaan pesimis tatkala menghadapi sainganku. Ayah ku yang akan membuat ku memiliki semangat baru untuk menghadapi sainganku.

Hatiku semakin bergetar tatkala lomba akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Namun hatiku belum begitu tenang sebelum aku melihat dia, ayah ku tercinta. Aku segera pergi keluar untuk melihat apakah ayah ku sudah datang atau belum. Aku butuh kata-kata penyemangat dari ayahku. Namun harapan itu hampir sirna, lomba akan segera dimulai kurang dari 5 menit lagi.

Ya sekarang aku mulai lomba. Aku mulai mengerjakan soal – soal itu. Walaupun dengan sedikit semangat yang ada pada diriku. Mataku kembali memandang kearah luar, dan ternyata aku melihat seseorang telah berlari menemui ruangan di mana aku duduk saat itu. Dia adalah ayahku yang siap memberikan semangat untukku.

Akhirnya lomba itu telah selesai aku ikuti. Tiga jam dari sekarang akan diumumkan siapa yang akan menjadi pemenangnya. Harapanku sangat besar untuk menjadi pemenangnya. Aku duduk berdampingan dengan ayah dan guruku duduk di depan podium pengumuman.  Hasilnya aku berhasil menjadi juaranya dan aku berhasil melanjutkan lomba ku ke tingkat selanjutnya. Aku berhasil membuat ayah ku tersenyum lebar karena kebanggaannya kepadaku. Perasaanku sangat bahagia, begitupun dengan apa yang dirasakan oleh ayah, guru dan teman-temanku.

3 tahun kemudian ...
Kini aku telah sekolah di tingkat yang lebih tinggi yaitu di SMP. Kehidupan ku mulai berubah sedikit demi sedikit. Namun perubahan yang telah terjadi padaku lebih ke arah negatif. Hal itu terjadi karena aku salah memilih teman bergaul.  Aku pun mulai mengikuti jalan salah yang ditempuh oleh teman-teman ku. Kini aku sudah tak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Seolah hati ku telah tertutup untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jalan yang aku tempuh lebih ke arah mengikuti kesenangan yang sifatnya hanya sementara. Perilakuku lebih banyak mengikuti nafsu daripada akal sehatku.

Kekecewaan yang sangat mendalam yang telah dirasakan oleh ayahku. Dia sangat merasa sedih tatkala dia tahu semua keburukan yang telah dilakukan oleh anak satu-satunya.  Terlalu banyak kasus yang telah aku perbuat. Maka sekolah telah memutuskan untuk mengeluarkan aku dari sekolah itu. Semua sekolah yang ada di daerah ku pada saat itu tidak mau menerima ku sekolah di sana  karena mereka tahu akan kenakalan yang telah ku perbuat. Ketika Ayah mulai mengetahui aku tak bersekolah lagi ayah ku sangat merasa kecewa. Tak jarang ayah ku menangis meratapi nasib anaknya kedepan dengan kondisi aku tidak sekolah.  Ketika itu aku pulang bermain bersama teman-temanku. Ayahku berkata, “nak, sini sebentar ayah ingin bicara serius denganmu.”
“Tapi yah aku capek, kalau ada yang mau dibicarakan nanti saja sekarang aku ingin istirahat.” Jawab aku dengan nada suara yang kasar. “Ayah tak akan banyak menggangu waktu mu, ayah hanya butuh sedikit waktu mu untuk menanyakan sesutau padamu.” Jawab ayah kembali. “Tidak ayah aku mau beristirahat!!!” bentak aku sambil pergi meninggalkan ayah dan masuk ke dalam kamar.

Kini aku lebih sering mencuri karena aku tak punya uang untuk membeli obat-obatan itu. Cara apapun aku lakukan untuk mendapatkan barang terlarang itu. Bahkan mencuri uang ayah ku pun aku sudah berani melakukannya. Kekecewaan yang dirasakan ayahku semakin mendalam. Ketika itu ayahku mulai sakit-sakitan memikirkan perilaku ku yang sangat tercela..

Hingga pada suatu hari ketika aku dan teman-teman ku sedang menggunakan narkoba aku dan teman-temanku tertangkap tangan oleh polisi. Aku beserta teman-temanku mulai mendekam di penjara. Akhirnya aku tersadar bahwa kebahagiaan itu adalah kebahagiaan semu yang telah membuat kehidupan ku hancur. Beruntung aku tidak overdosis dengan obat terlarang itu. Tak seperti nasib temanku yang satu itu dia meninggal dunia karena overdosis. Ketika melihat temanku meninggal aku kembali tersadar bahwa kebahagiaan itu telah menjerumuskan ku dan teman-teman ku kejurang kesesatan.

Aku tak bisa menahan tangis ketika melihat temanku sakaratul maut karena overdosis yang dialaminya. Kematian yang dialami temanku begitu tragis. Kematian yang dialami temanku sangat mengerikan. Mungkin ini semua salah satu bentuk hukuman karena apa yang telah diperbuat. Terpikir dalam benak ku bahwa Allah masih menyayangi ku karena aku masih diberi kesempatan untuk hidup.

Kini satu tahun sudah aku mendekam di dalam sel tempat orang-orang jahat itu. Kini aku mulai kembali menata hidupku walaupun aku menata hidup dalam sel tahanan. Kini aku benar-benar menemukan kebahagiaan yang hakiki. Walaupun tempat ku didalam penjara. Batinku lebih merasa tenang apa lagi setiap aku melaksanakan shalat malam dan melantunkan ayat suci Al quran.

Tak ada lagi keinginan untuk keluar dari penjara ini. Kini aku sudah benar-benar menemukan kebahagiaan yang nyata bukan lagi kebahagiaan semu.

Namun tatkala aku selesai shalat subuh aku pun mulai bergegas untuk membereskan sajadah dan sarung bekas aku shalat. Tak seperti biasanya aku mendengar suara ayam berkokok yang mengingatkanku akan kehidupanku ketika aku kecil . Dimana aku hidup bersama ayah tercinta. Yang senantiasa berusaha menjadi ayah yang baik untuk diri ku. Namun aku adalah anak durhaka yang telah menyia-nyiakan kebaikan ayahku. Ketika aku mengingat semuanya tak dapat kubendung air mataku membasahi pipiku. Aku merasa aku adalah manusia  yang tiada guna. Ketika itu aku berpikir untuk mencari tahu bagaimana keadaan ayah ku, karena waktu aku meninggalkan rumah ayah ku dalam keadaan sakit. Besar harapanku agar ayah dapat menjenguk ku dipenjara dan memberikan semangat kepada ku sama seperti dia memberikan semangat ketika aku mengikuti lomba matematika dulu.

Aku mulai mencari informasi bagaimana keadaan ayahku. Aku meminta tolong kepada polisi yang sangat baik kepada ku untuk mencari tahu bagaimana keadaan ayah ku di kampung. Tak pernah aku berhenti berharap polisi itu membawa kabar baik untuk ku dan membawa ayahku untuk menjenguk ku. Hatiku mulai bergetar ketika aku melihat raut wajah polisi itu yang seolah penuh dengan kekecewaan. Dan dia pun segera menghampiriku.
“Mudah-mudahan kamu siap menerima kenyataan yang harus kau hadapi wahai anak muda” kata polisi itu penuh dengan hati-hati. “Kenapa pak. katakan saja apa yang ingin kau katakan apapun kabar yang kau bawa insyaAlloh aku dapat menerimanya, karena aku yakin apa pun kabar mengenai ayah ku itulah takdir yang telah Allah tuliskan”. Jawab sang anak muda penuh dengan kerelaan. “Baiklah nak, sebenarnya ayahmu sudah tiada sejak delapan bulan yang lalu.” Info sang polisi itu. Aku tak dapat menjawab apapun lagi seolah dia berusaha untuk ikhlas menerima kepergian ayahnya. Namun penyesalan yang tak terhingga pun telah dia rasakan. Karena dia tak dapat membalas semua kebaikan ayahnya itu. Justru dia suguhkan hal-hal yang tidak menyenangkan untuk ayahnya.

Namun aku tak akan pernah putus asa aku akan menunjukkan kepada ayahku, ibukku, adikku, guru-guruku, dan sahabat –sahabat aku ketika aku SD. Dengan adanya aku di penjara aku akan mulai menata hidupku untuk ke depannya terutama untuk bekal ku di akhirat.

Sekarang kehidupannku mulai kembali tertata. Sampai akhirnya aku keluar dari penjara karena sikap baik ku yang telah aku tunjukkan kepada polisi. Bukan hanya itu kini aku sudah punya pekerjaan yaitu menjadi guru privat agama di lingkungan ku. Kehidupan ku kembali terarah ke arah yang lebih baik.